Menonton Oppenheimer: Baca Dulu Sipnosisnya
Sekitar seminggu
yang lalu di bulan Agustus 2023 akhirnya saya jadi juga menonton Oppenheimer
setelah tertunda-tunda beberapa waktu. Baru pada akhir Agustus 2023 ini saya
menuliskan sekadar pendapat ringan tentang film itu. Keinginan saya untuk
menonton film iyang dibintangi oleh Cilian Murphy itu tampaknya lebih
disebabkan oleh fomo (fearing of missing
out) atau rasa kurang lebih takut ketinggalan, karena beberapa teman saya
membahas film itu di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti. Selain itu, saya
juga membaca betapa Christopher Nolan menyarankan bahwa penontonnya menonton
film ini di layar yang selebar mungkin. Saya menduga ini karena film ini akan
menampilkan adegan ledakan nuklir yang dahsyat.
Setelah menonton film ini, ternyata ledakan nuklir dalam film ini tidaklah
sedahsyat yang saya kira, apalagi jika dibandingkan adegan ledakan dalam
beberapa film yang telah saya tonton, termasuk yang tidak berkaitan dengan
nuklir. Memang layak diacungi jempol bahwa adegan ledakan itu konon tidak
menggunakan CGI (computer generated
imagery).
Ini adalah salah satu dari sedikit film yang menurut saya sebaiknya penontonnya
membaca terlebih dulu jalan ceritanya, kalau perlu beberapa kali, terutama
penonton yang berasal dari kalangan awam
yang tidak begitu memahami reaksi nuklir dan tidak begitu mengenala Oppenheimer,
termasuk saya sendiri. Untunglah saya sendiri sempat sekilas membaca ulasan
film ini, sehingga masih bisa memahami jalan cerita film serius ini. Cilian
Murphy sendiri saya kira cukup baik membawakan perannya dalam film ini.
Sekilas
saya melihat bahwa sebagian besar yang menonton film ini bersama saya di sebuah
bioskop di Bandung adalah generasi muda. Ini boleh dibilang pertanda baik yang
menunjukkan bahwa ada generasi muda yang tertarik untuk menonton film yang
menurut sebuah sumber bergenre biographical
thriller (film biographic yang seru/menegangkan) ini, di antara film-film bergenre lain yang diputar saat itu
termasuk Barbie yang bergenre fantasi komedi, biarpun sebagian dari mereka
menonton dengan alasan yang sama yaitu fearing
of missing out itu tadi.
Sebenarnya
ada lagi alasan saya menonton film ini adalah bahwa nama Oppenheimer sendiri
cukup keren di telinga saya, yang bisa saya anggap mewakili kemajuan Barat
dalam berbagai bidang. Saya tidak tahu bagaimana pendapat orang Indonesia yang
lain tentang nama ini, tetapi mungkin kurang lebih sama, meskipun Oppenheimer rasanya
kalah terkenal di Indonesia dibandingkan dengan Einstein yang sosoknya juga ditampilkan
dalam film itu. Filmnya sendiri berjudul Oppenheimer saja, tanpa embel-embel
lain. Ini menunjukkan keyakinan produser dan sutradaranya bahwa dengan nama itu
saja film ini dapat memikat orang untuk menontonnya.
Bagaimanapun
sedikit banyak saya mendapat wawasan baru dalam film ini, termasuk bagaimana
kehidupan sang ilmuwan itu sendiri dan latar belakang dibuatnya bon nuklir
sehingga saya tidak menyesal menonton film ini. Lamanya film ini yaitu hampir
tiga jam membuatnya layak dijadikan pengisi waktu luang.