Friday, May 11, 2007

Membaca Karena Malas Berpikir?

Banyak orang lebih suka membaca karena ia terlalu malas untuk berpikir. G.C. Lichtenberg (1742-1799, penulis Jerman)
Mungkin pendapat yang kebetulan saya baca dalam Intisari edisi April 2005 di atas tidak hanya membuat saya terhenyak, tetapi juga sebagian di antara Anda. Bukankah selama ini kita cenderung mengaitkan membaca dengan kecerdasan? Apalagi jika kita ingat pernah melihat salah satu episode acara kuis Who Wants to be a Millionnaire yang menampilkan keberhasilan seorang loper koran, Agus Mulyadi, mendapatkan 500 juta rupiah, hadiah terbesar yang pernah didapat oleh orang Indonesia lewat acara tersebut, “hanya” karena membaca (atau benarkan demikian?). Peristiwa langka tersebut tidak pelak lagi menguatkan anggapan kita terhadap pentingnya membaca, bahkan saya menduga bahwa anggapan seperti ini pada tingkat tertentu didukung pula oleh mereka yang kurang suka membaca.
Namun, kenapa Lichtenberg sampai miliki pendapat seperti di atas? Saya menduga, dia memiliki pendapat di atas berdasarkan pengalamannya sendiri setelah melihat orang-orang yang termasuk kategori “terlalu malas untuk berpikir” tersebut. Saya menduga bahwa yang termasuk kategori ini antara lain adalah orang yang menjadikan membaca sebagai sarana untuk sekadar melupakan sejenak berbagai kesulitan hidup, seperti halnya orang menjadikan makanan, film, permainan, jalan-jalan, atau bahkan minuman keras, judi, dan narkoba untuk keperluan yang serupa. Selama kesulitan hidup masih ada, tampaknya masih akan ada pula orang-orang yang menjadikan membaca sebagai sarana untuk melupakannya untuk beberapa saat.
Namun, saya sendiri tetap yakin bahwa bagaimanapun kebiasaan membaca sedikit banyak memberi manfaat bagi orang yang memilikinya, meskipun dengan motivasi sekadar menghibur diri seperti tersebut di atas, khususnya jika yang dibacanya adalah hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya kebiasaan tersebut akan memberikan semacam wawasan kepada orang yang bersangkutan, terlepas dari apakah wawasan itu bermanfaat langsung bagi dirinya dan orang lain atau tidak Bukankah Al Quran secara tidak langsung memuliakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dengan menyatakan pada salah satu ayatnya, apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui? Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu adalah dengan membaca, bukan? Selain itu, saya pun yakin bahwa kebiasaan membaca memacu otak untuk berpikir, bahkan meskipun orang yang melakukannya tidak menindaklanjutinya dengan kegiatan apapun.
Namun, membaca adalah suatu hal, menindaklanjutinya adalah hal yang lain. Buktinya, berapa persen di antara orang yang suka membaca itu suka pula menulis? Berapa persen orang yang bertindak secara positif dan signifikan berdasarkan apa yang dibacanya? Lebih lanjut, memiliki pengetahuan yang banyak dan memiliki kecerdasan adalah dua hal yang berbeda, meskipun saya yakin kebiasaan membaca dapat meningkatkan kecerdasan seseorang. Sering orang tidak cukup hanya menjadi banyak pengetahuan tetapi ia juga perlu menjadi cerdas atau kreatif. Sebagai contoh sederhana, Agus Mulyadi tidak hanya mengandalkan pengetahuan yang diperoleh dari kebiasaan membacanya, tetapi juga mengandalkan kemampuan analisisnya dalam acara kuis yang konon paling digemari di Indonesia tersebut. Seperti yang diungkapkan dalam tabloid Nova, edisi 24 April 2005, ketika Tantowi Yahya, presenter acara kuis tersebut, memberi pertanyaan di bawah laut apa kota Sodom dan Gomorah berada, Agus Mulyadi mengaku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, dia menganalisis dulu pertanyaan itu. Menurutnya kedua kota itu dikutuk oleh Tuhan, berarti mati. Karena itu, dia lalu menjawab bahwa kedua kota itu berada di bawah Laut Mati, dan ternyata benar. Analisisnya menurut saya tampak sederhana bahkan lugu tetapi ternyata benar. Memang, menurut Tantowi Yahya, tidak jarang analisis juga diperlukan untuk menjawab secara benar suatu pertanyaan di dalam acara tersebut, bukan sekadar pengetahuan yang luas. Tidak heran jika banyak peserta lain dengan pendidikan yang lebih tinggi yang “hanya” membawa pula satu juta rupiah dari acara tersebut, sebelum dipotong pajak, antara lain karena analisis mereka kurang tepat. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita tidak hanya memerlukan pengetahuan umum yang luas tetapi juga kecerdasan untuk dapat mengatasi berbagai masalah hidup.
Kembali ke pernyataan sang penulis Jerman itu di atas, jika kita tidak ingin termasuk orang yang dikategorikan di dalamnya, tidak ingin kegiatan membaca yang kita lakukan justru membuat kita malas berpikir, maka setidaknya hal di bawah ini bisa dilakukan.
Hal sederhana yang bisa dilakukan lakukan untuk lebih mengaktifkan otak kita setelah membaca sesuatu adalah secara sengaja menganalisis apa yang kita baca tersebut. Analisis bisa berbentuk sederhana, misalnya ketika kita membaca suatu buku, kita bisa membuat resensi ringkas tentang isi buku tersebut dan pendapat kita terhadap isi tersebut, setidaknya dalam beberapa kalimat saja. Sebagai contoh lain, ketika kita membaca novel percintaan atau teenlit kita bisa memberi komentar seharusnya cewek tokoh utama “jadian” dengan teman sekolahnya yang sudah lama mengincarnya tersebut, bukan dengan cowok yang ditemuinya di suatu pesta, seharusnya sang tokoh utama dijadikan jangan terlalu lugu, dan seterusnya. Kalau perlu, secara ringkas kita buat jalan cerita yang lebih sesuai dengan kemauan kita dari yang kita novel yang baca tersebut. Analisis berupa resensi atau komentar seperti itu hendaknya kita tulis dalam buku tulis atau komputer supaya tidak mudah hilang dari ingatan kita sekaligus melatih kita dalam menyusun kalimat secara baik Dengan demikian, kita berlatih untuk lebih kreatif menyikapi bacaan yang kita baca.
Supaya lebih mudah dalam menganalisis bahan bacaan yang kita baca tersebut kita perlu secara sadar menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, bukan tujuan itu sendiri, Dengan kata lain membaca hendaknya benar-benar diniatkan sebagai cara untuk mencapai sesuatu yang lebih penting, bukan sekadar hobi, pelipur lara, pengisi waktu senggang, dan sejenisnya. Bacalah bahan bacaan yang sekiranya benar-benar dianggap akan memberi nilai tambah bagi diri kita. Dengan demikian kita akan cenderung lebih terdorong untuk memperhatikan isinya karena memang ingin mendapatkan pengetahuan tertentu dari buku yang kita baca.
Namun, jika Anda ingin membaca secara santai tanpa dibebani apapun, menurut saya itu pun sudah lumayan. Nikmati saja kegiatan Anda itu. Masih banyak orang yang tidak suka membaca, tidak sempat membaca, atau bahkan tidak bisa membaca dengan alasannya masing-masing. Bayangkan, menurut Pikiran Rakyat, 29 April 2005, terdapat 5, 39 juta penduduk Indonesia yang buta huruf! Jadi, bisa membaca pun adalah suatu kelebihan yang layak disyukuri dalam konteks ini.

2 comments:

LISAGITULOH said...

Mengerikan! Jangan2 org2 kayak aku ini yg bikin si jerman punya pendapat kayak gitu. Paling tdk, tulisanmu ini bikin aku jadi mikir begitu. Krn membaca sering mjd pelarian dari segala kepenatan stlh seharian bekerja. Kl org udah penat kan jd males diajak ngobrol, apalg dimintain pendapat. Hehe. Sering terjadi, dari pada susah2 mikir nyari bahan obrolan dgn suami, sodara, ortu or teman (apalagi teman baru), mendingan baca buku. Biasanya dari topik yang di buku, bisa jadi bahan obrolan atau tukar fikiran. Sayangnya, semakin bertambahnya usiaku, bacaanku malah makin ringan, cuma seputar Harry Potter sampai Donald Bebek... Buku2 dgn bahasan berat (padahal bermanfaat), baru baca kata pengantarnya aja udah ngantuk... Haha

Ikram Mahyuddin said...

Trims atas tanggapanmu. yang jelas kita tidak takut terbebani kalau membaca. Yang jelas membaca umum adalah kegiatan yang membaca, baik itu membaca bacaan yang berat atau ringan, sepanjang tidak mengganggu tugas.